Kamis, 23 Desember 2010

Bidang Kajian BLS FHUI 2010

Pendahuluan
Business Law Society merupakan suatu Badan Semi Otonom yang secara tidak langsung juga mewadahi dari mahasiswa FHUI yang mengambil Program Kekhususan mengenai Hukum tentang Kegiatan Ekonomi khususnya, dan program kekhususan lain yang tersedia di FHUI pada umumnya. Selain itu BLS juga merupakan satu-satunya organisasi kemahasiswaan yang bergerak di bidang pendalaman ilmu mengenai hal-hal yang terkait dengan hukum bisnis.
Berangkat dari keterbatasan waktu maupun prasarana yang meunjang akan pembelajaran khususnya mengenai hukum bisnis, Business Law Society kemudian pada tahun 2007 mulai membentuk suatu divisi khusus yang membahas mengenai kajian di bidang hukum bisnis, baik dalam tataran konseptual maupun praktisnya baik melalui bedah kasus, diskusi, dan beragam kegiatan lainnya. Dan setelah melalui proses evaluasi secara berkala dan pengembangan yang berlangsung secara kontinu dari internal bidang kajian BLS ini sendiri, kini telah terdapat empat bidang kajian yang menjadi fokus dari kajian BLS khususnya pada tahun 2010 ini, diantaranya yaitu:
  • Capital Market and Securities (Capties)
  • Energy and Mineral Resources (Enro)
  • Banking and Finance (BaFin)
  • Intelectual Property and Technology (IP Tech)
Ke-empat bidang ini ditujukan guna lebih memfokuskan pembelajaran dan lebih mencerdaskan rekan-rekan anggota BLS sendiri secara khususnya, dan mahasiswa-mahasiswi FHUI lainnya secara umumnya. Dan pada akhirnya, dengan terbentuknya divisi kajian ini diharapkan semangat yang diusung pada saat didirikannya BLS yaitu sebagai centre of Business Law Studies dapat tercapai melalui setiap kajian dan diskusi yang BLS selenggarakan.
Sistem Kajian BLS
Dalam hal melakukan kajian, BLS selalu mengupayakan agar di dalam diskusi yang dilakukan semata-mata adalah untuk menjembatani penyampaian yang selama ini selalu tidak dapat ditemukan jalan keluarnya melalui pola-pola pembelajaran di kelas pada umumnya. Hal tersebut dicapai melalui bentuk diskusi sendiri yang dipimpin oleh salah seorang mahasiswa sebagai fasilitator, baik yang berasal dari manejer-manejer dan anggota dari masing-masing bidang kajian yang ada di dalam BLS, maupun mahasiswa di luar BLS yang telah mumpuni ilmunya terkait permasalahan yang diangkat di dalam diskusi tersebut. Dimana permasalahan-permasalahan yang ada tersebut berangkat dari permasalahan khususnya mengenai hukum bisnis yang sedang berkembang di dalam masyarakat dan juga dari hal-hal yang hingga saat ini kajian secara empiris maupun literaturnya yang masih kurang, sehingga dengan demikian anggota yang mengikuti rangkaian kegiatan kajian ini dapat memiliki pemahaman akan hukum bisnis yang tidak biasa-biasa saja layaknya mahasiswa hukum bisnis lainnya, melainkan memiliki nilai plus karena telah memiliki pemahaman akan hukum bisnis yang amat baik saat bergabung di BLS tentunya.
Deksripsi Rangkuman Kajian BLS sepanjang semester genap 2010
  1. “Asian China Free Trade Area” – M. Farid Hanggawan (15 Februari 2010)
Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang memasuki era globalisasi, dengan mekanisme pasar yang begitu bebas dan hampir tidak terasa lagi batasan-batasan wilayahnya. Beranjak dari kebutuhan akan wilayah pasar yang lebih luas lagi untuk pemasaran komoditas tiap-tiap negara, akhirnya Indonesia yang merupakan salah satu pendiri ASEAN mensepakati perjanjian kawasan perdagangan bebas dengan negara China. Tentunya dengan tidak melupakan kemampuan dan potensi dari negara Indonesia sendiri, sehingga di dalam penerapannya ditetapkan beberapa poin batasan dari keberlakuan persetujuan ini sendiri bagi masing-masing negara. Dan pada akhirnya, merupakan suatu urgensi untuk membahas mengenai permasalahan ini terkait dengan aspek-aspek di dalam hukum bisnis baik yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri maupun dengan setiap kebijakan yang akan dikeluarkan guna mendukung berjalannya isi dari kesepakatan ACFTA ini.
Melalui diskusi ini dapat dipelajari bahwa siap ataupun tidak era globalisasi sudahlah berada di depan mata, oleh karena itu patutlah permasalahan yang ada saat ini bukan lagi mencari-cari kesalahan dari institusi tertentu baik dalam persetujuan akan kebijakan ini maupun pada tingkat pensosialisasian kebijakan ini. Dan opsi renegosiasi akan poin-poin di dalam ACFTA ini akan menjadi cadangan peluru terakhir yang harus dimaksimalkan oleh pemerintah guna menaikkan posisi tawar dari negara Indonesia,  terlebih guna melindungi industri kecil maupun menengah dari serbuan produk dari negeri Cina.
        b.  “Hukum Konstruksi : Suatu Pengantar” – Joshua L. M. Panggabean (4 maret 2010)
Semakin pesatnya jumlah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, tentunya tidak lepas dari semakin digesanya beragam kebijakan pemerintah yang terkait dengan permasalahan pembangunan infrastruktur maupun suprastruktur. Berkaitan dengan hal tersebut, maka fasilitator pun membawakan mengenai teori-teori terkait hukum bisnis, seperti kontrak kerja, perjanjian dalam hal terjadi kegagalan konstruksi . Walau hanya berupa penjelasan secara umum, namun dari atensi peserta diskusi dapat dilihat betapa besarnya keingintahuan dari peserta diskusi akan bidang hukum yang satu ini. Dihadapkan begitu jarangnya permasalahan yang timbul di dalam negeri terkait dengan hukum konstruksi ini, fasilitator melengkapi penjelasannya dengan kasus yang berasal dari luar negeri seperti: Southwest Engineering Company v. U.S. (USA, 1965) dan AMF International Ltd v Magnet Bowling Ltd (Inggris, 1968).

      c.     Hak atas Kekayaan Intelektual – M. Reza Fakhriyadi (6 april 2010)
 “Tinjauan Implikasi dan Refleksi Perlindungan HaKI di Indonesia
 Mengapa Pemerintah Indonesia melindungi HaKI?, Paling tidak kita mengemukakan bahwasanya alasan-alasan utama perlindungan HaKI di Indonesia adalah :
Alasan sejarah (seperti: octroirecht, auterswet 1912) hukum mengenai perlindungan Hak kekayaan intelektual sudah dikenal pada masa kolonial Belanda. Penyesuaian perlindungan HaKI dengan perlindungan standar yang ditetapkan pada tingkat Internasional. Sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia pada WTO -> GATT (Uruguay Round) dimana di dalam Uruguay Round sendiri dihasilkan suatu kesepakatan yang dinamaka TRIPs (Trade Related Aspect in Intellectual Property). Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Bern, Paris Convention, dan menjadi anggota WIPO (World Intellectual Property Organization). Oleh karena itu, kami menyadari bahwasanya perlindungan HaKI tidak datang dari inisiatif Negara ini, namun karena adanya pengaruh eksternal. Meskipun begitu perlindungan Hak Kekayaan Intelektual tetap merupakan agenda pentingan dalam perlindungan hukum di Indonesia. 
Disamping latar belakang tersebut Perlindungan HaKI bertujuan untuk; sebagai penghargaan dari pemerintah terhadap hasil ciptaan / produk intelektual, Memacu kreativitas dalam melakukan RnD, melindungi suatu hasil ciptaan dari tindakan melawan hukum, serta sebagai insentif dalam mengundang investasi asing (contohnya di bidang paten, merek, desain industry dll).
Adapun kita juga menganalisa hal-hal yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HaKI di Indonesia adalah antara lain :
(1) pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut; 
(2) para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum; 
(3) ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI; 
(4) dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan 
(5) masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Dengan sosialisasi dan penegakan hukum yang lebih baik lagi, melalui mekanisme mekanisme di bidang Legislasi dan Konvensi Internasional, administrasi, kerjasama degan para stakeholder, peningkatan kesadaran masyarakat, dan penegakan hukum yang seharusnya. Kami berpendapat perlindungan HaKI akan membawa benefit yang sangat besar bagi Negara ini, seperti antara lain meningkatnya kegiatan research n development, meningkatnya investasi asing karena berkorelasi dengan meningkatnya trust terhadap Negara ini yang menghargai kekayaan intelektual, menurunnya tindakan pelanggaran HaKI yang tidak bertanggung jawab, dll.

      d.  Analisa Hukum dan Ekonomi Kasus Bank Century – Raymond Pardomuan (22 april 2010)
      Cikal Bakal Century 
      Dalam hal pembentukan Bank Century di awali dari proses merger antara tiga bank, yakni Bank CIC, Danpac, dan Pikko. Proses merger tersebut di dasari oleh ketentuan sebagai berikut,
PP Nomor 28 Th. 1999 tentang  Merger, Konsolidasi dan  Akuisisi Bank 
SK Direksi BI No.32/51/KEP/DIR tgl.14 Mei 1999 tentang Persyaratan & Tata Cara Merger, Konsolidasi & Akuisisi Bank Umum.     
Namun demikian, pada awal pembentukannya Bank Century pun telah memiliki “kadar” kecurangan, yakni pada kasus Bank CIC (CARnya tidak memnuhi standar BI). Hal ini menjadi kegagalan Bank Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas perbankan nasional.         
      Resesi Ekonomi Amerika “Menggetarkan Dunia”
      Pada akhir tahun 2008, dunia digemparkan oleh keguncangan ekonomi yang menyerang negara superpower Amerika Serikat. Kejatuhan ekonomi yang mendalam di negara tersebut memberikan dampak/impact buruk baik secara lokal, regional, maupun internasional. Kredit macet pada property (subprime mortatge) disinyalir menjadi “biang kerok” kehancuran ekonomi Amerika Serikat. 
      Keguncangan pun terjadi di hampir setiap sektor keuangan. Institusi/Lembaga – lembaga keuangan bertumbangan dan berpuncak pada kolapsnya lembaga keuangan raksasa, yakni Lehmann Brother dan Merryl Lynch, Citi Group dan AIG. Di samping itu sektor riil pun ikut terkena imbas, yakni “rontoknya” perusahaan – perusahaan kelas kakap, semacam General Motor, Ford, Chrylser. Tidak lantas sampai disitu, negara – negara lain pun secara massif terkena imbasnya, termasuk Indonesia. Melalui indikator ekonomi makro, Indonesia pun terkena imbas dari “rusaknya” lalu lintas perekonomian dunia.
      Antispasi Pemerintah dalam Pencegahan Dini (Early Warning) Krisis Keuangan 
      Pemerintah pun mengambil langkah antisipatif dan preventif dalam mencegah potensi krisis ekonomi yang dikhawatirkan menjalar terlalu jauh (pengalaman krisis ekonomi 1998). Melihat hal tersebut, terjadi suatu kebijakan yang terkait dengan upaya pencegahan krisis keuangan, yakni Presiden mengeluarkan Peraturan Pengganti UU No 4 tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK). Dalam Perppu JPSK tersebut terdapat ketentuan untuk membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menilai kondisi krisis yang dapat membahayakan perekonomian nasional.

    Dalam kewenangannya, KSSK pun mengeluarkan kebijakan untuk melakukan penyelamatan terkait Bank Century yang kala itu mengalami kesulitan likuiditas. Bank Century dalam hal ini dinilai sebagai bank yang gagal dan berdampak sistemik  sehingga perlu untuk diinjeksi dan diselamatkan. Dasar penyelamatan itu pun, menurut KSSK untuk mencegah kekisruhan di sektor keuangan/ rush. Hal ini berkaitan bahwa kejadian buruk akibat “hancurnya” institus perbakan tahun 1998 apabila tidak diselamatkan akan menyebabkan kerugian yang lebih besar lagi. Dalam pola penyelamatan Bank Century pun terdapat tiga lembaga yang memberikan andil di masing – masing ketentuan. BI, KSSK, dan LPS menjadi institusi yang dianggap bertanggungjawab dalam permasalahan Century. 
Kontroversi Penyelamatan Century
      Awalnya kontroversi itu dimulai saat adanya wacana hitung – hitungan untung dan rugi atas penyelamatan bank Century yang membutuhkan 6,7 triliun dalam proses bergulirnya. “Biaya” penyelamatan itu pun lantas mengundang pertanyaan dari berbagai kalangan mengenai dasar yang menentukan besaran biaya yang harus digelontorkan tersebut.  Melihat hal tersebut, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun melakukan upaya dengan “menyuruh” Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku badan pengawas eksternal. Temuan audit investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut penanganan Bank Century atas rekomendasi DPR dan menghasilkan hasil auditnya :
Penentuan Bank gagal berdampak sistemik tidak berdasarkan pada informasi yang sesungguhnya lengkap dan mutakhir 
KSSK tidak punya kriteria terukur untuk menetapkan dampak sistemik Bank Century
   Penetapannya lebih di dasarkan judgement
   Lantas, mengapa menjadi polemik Bank Century menjadi berkepanjangan/ “bola liar?
1. Menyangkut buruknya proses merger (voluntary merger), konsolidasi dan akuisisi dalam tubuh “Bank Century yang menjadi titik sentral lemahnya pengawasan Bank Indonesia
2. Proses pemberian “bailout” yang mengandung “misteri” uang negara & Pembengkakan angka 632 miliar menjadi 6,7 T
3. Kejatuhan Bank Century disinyalir “kolaps” karena dirampok oleh pemiliknya 
4. Keabsahan dari Perppu JPSK yang ditolak oleh DPR yang patut dipertanyakan 
5. Aliran dana yang disinyalir mengalami penyimpangan (terkait faktor – faktor kepentingan politik)

         e. Hukum Pertambangan : Suatu Pengantar – Agisa Muttaqien ( 29 april 2010 )
Hukum pertambangan merupakan cabang dari rantai besar hukum bisnis. Pertambangan menjadi penting untuk dipelajari mengingat potensi kekayaan Indonesia di bidang tambang yang semakin hari semakin menjanjikan keuntungan berlipat. Di lain pihak, pencurian akan bahan tambang dan praktik-praktik hukum yang tidak adil juga menghiasi substansi hukum pertambangan tersebut.,. Untuk itu penting bagi mahasiswa hukum untuk mengenal hukum pertambangan terlebih dahulu, sehingga mengerti bagaimana menegakkan hukum dalam bidang basah tersebut.
      Menurut H. Salim, S.H. dalam bukunya Hukum Pertambangan: Suatu Pengantar, hukum pertambangan merupakan keseluruhan kaidah hukum yang mengatur kewenangan negara dalam pengelolaan bahan galian (tambang) dan mengatur hubungan hukum antara negara dengan orang atau badan hukum dalam pengelolaan dan pemanfaatan bahan galian (tambang). Sehingga hukum pertambangan sendiri mencakup segala lingkup bahan galian, yang dapat dibagi menjadi dua, yakni pertambangan umum dan pertambangan minyak dan gas bumi.  Pertambangan umum meliputi bahan galian radioaktif, logam, non logam, batu bara, dan panas bumi.
      Sumber hukum pertambangan dimulai dari Indische Mijn Wet pada tahun 1800an, hingga undang-undang terbaru mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara No. 4 tahun 2009 yang hingga kini belum semua Peraturan pelaksananya disahkan. Ada perubahan yang cukup menarik untuk dikaji, yakni hilangnya prinsip mengenai Kontrak Karya dalam undang-undang yang selama ini dijadikan acuan, menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Kontrak, sebagaimana yang telah diatur oleh BW, merupakan implementasi dari perjanjian, sehingga para pihak sejajar dalam pelaksanaan prestasi. Namun kini, posisi pemerintah menjadi tidak sejajar lagi dengan para investor sejak adanya pengaturan tentang IUP ini. Semula kontrak diubah menjadi perizinan. Sehingga, kewenangan pengawasan dapat semakin terwujud. Undang-undang yang baru pun meninggikan posisi pemerintah daerah untuk menjadi decision maker bagi terlaksananya izin tersebut. Sehingga tercipta pemberdayaan pemerintah daerah dengan pengaturan yang baru. Di sisi lain, hal ini menimbulkan kerugian. Salah satunya adalah kemungkinan tidak sejalannya strategi pemerintah nasional dengan strategi pemerintah daerah untuk menetapkan langkah-langkah dalam pemanfaatan bahan galian tambang. Tidak tercapainya DMO (Domestic Market Obligation) atau dapat dikatakan sebagai Stok Wajib Dalam Negeri. Tak dapat disangkal bahwa selain negara dapat menjual bahan galian tambang kepada investor swasta, namun stok dalam negeri pun harus tetap terpenuhi. Dengan adanya pemberdayaan daerah untuk menetapkan izin ini, kemungkinan terjadinya over dalam pemberian izin memungkinan tidak terpenuhinya target stok wajib dalam negeri tersebut.
      Sesungguhnya, masih terdapat banyak lagi tema-tema yang menarik untuk dikaji dalam hukum pertambangan, dan tentu mengenai masalah pembagian hasil tambang, iuran berkala, penerapan Corporate Social Responsibility, kaitan hukum pertambangan dengan Hukum Agraria, Hukum Lingkungan, serta Hukum Kehutanan akan lebih menarik lagi untuk dibahas.

BUSINESS LAW SOCIETY

Business Law Society adalah salah satu badan semi otonom yang didirikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada bulan November 2002.  BSO ini memiliki konsentrasi pada pengembangan mahasiswa fakultas hukum khususnya yang memiliki minat lebih pada penjurusan hukum tentang kegiatan ekonomi.  Organisasi ini concern ke arah kajian tentang hukum bisnis.  Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang begitu tersohor dengan lulusannya yang banyak berkecimpung dalam bidang hukum bisnis, sudah sepantaslah BLS menjadi pionir dalam hal perkembangan hukum bisnis di Indonesia.  Selayaknya suatu bentuk organisasi, organisasi ini juga membutuhkan anggota untuk menjalankan kegiatan – kegiatan dalam rencana kerjanya. 
BLS dapat menjadi sarana bagi para mahasiswa fakultas Hukum, khususnya yang tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai hukum bisnis, untuk menguji kemampuan mahasiswa dan menilai sejauh mana mereka dapat membuat suatu pendapat hukum dan sebuah akta perjanjian/ kontrak legal, pajak, perbankan, dll. Dengan acara ini pula di harapkan dapat meningkatkan kualitas lulusan mahasiswa hukum bisnis yang dapat berkontribusi dalam dunia profesional hukum.
Bagi para praktisi dan akademisi di bidang hukum, BLS dapat menjadi sarana menyalurkan ilmu dan berbagi pengalaman mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia hukum. Karena selain kajian tentang hukum bisnis, BLS juga mengadakan training & workshop yang berkaitan dengan hukum bisnis. Keuntungan lain bagi anggota BLS adalah  dapat dijadikan salah satu sarana untuk ikut membangun para mahasiswa menjadi lebih kritis dan giat mengkaji masalah hukum bisnis sehingga timbul insan – insan yang berkualitas dan kompeten dalam bidang hukum bisnis.